Oleh: Hasim (Pengajar di Program Doktor Ilmu Lingkungan UNG)
Danau Limboto
bukan sekadar lanskap geografis di Provinsi Gorontalo. Ia adalah ekosistem yang
hidup, menyimpan sejarah, menopang kehidupan, dan mencerminkan relasi antara
manusia dan alam. Dalam diamnya, danau ini menyaksikan perubahan zaman, dari
harmoni ekologis hingga pada titik krisis yang membahayakan eksistensinya. Saat
ini, Danau Limboto mengalami tekanan luar biasa dari aktivitas manusia yang tak
terkendali: pendangkalan drastis, pencemaran parah, dan kehancuran habitat
akuatik. Alih-alih memperbaiki, pendekatan konservasi yang bersifat sektoral
dan teknokratis justru seringkali memperlebar jurang eksklusi sosial dan
memperparah krisis ekologis. Maka, diperlukan suatu perubahan mendasar, bukan
sekadar kebijakan teknis, melainkan reorientasi paradigma menuju ekologi
politik yang lebih adil dan inklusif.
Perjalanan
Danau Limboto dari danau seluas 8.000 hektar di tahun 1932 hingga tersisa hanya
sekitar 2.230 hektar di tahun 2023 bukanlah sekadar data statistik. Ia adalah
potret nyeri atas degradasi ekologi yang kian tak terbendung. Sedimentasi
tinggi akibat deforestasi di wilayah hulu, alih fungsi lahan pertanian, serta
buruknya pengelolaan drainase telah mempercepat pendangkalan dan mendorong
danau ke arah eutrofikasi ekstrem. Tak hanya ekologi yang tergangguââ¬âkehidupan
masyarakat lokal pun terhantam.
Krisis
ekologis ini diperparah oleh pencemaran air dari limbah domestik dan limbah
perikanan jaring apung (KJA), yang menjadikan Limboto berstatus hipereutrofik.
Konsentrasi klorofil-a yang mencapai 275 õg/L dan dominasi Cyanophyceae menjadi
indikator nyata bahwa danau telah kehilangan daya dukung ekologisnya. Di tengah
kerusakan ini, spesies ikan lokal seperti payangka (Glossogobius giuris) dan
mangabai (Osteochilus vittatus) perlahan lenyap, menghilangkan simbol budaya
dan sumber penghidupan masyarakat yang menggantungkan harapan pada air dan
kehidupan.
Sejumlah 17
desa menggantungkan hidupnya pada sumber daya danau. Ketika hasil tangkapan
menurun dan air danau tak lagi layak, nelayan kecil, pembudidaya tradisional,
dan pedagang ikan lokal menjadi pihak pertama yang terdampak. Dalam dinamika
ini, kemiskinan struktural tidak sekadar disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi
juga oleh kebijakan konservasi yang tidak mendengarkan suara warga. Ketika
konservasi dipraktikkan dengan pendekatan eksklusif dan koersif, masyarakat
lokal justru menjadi korban dari proyek-proyek penyelamatan yang semestinya
membela mereka.
Ekologi
politik hadir sebagai alternatif yang tak hanya mempertanyakan kerusakan
lingkungan, tetapi juga menelusuri relasi kuasa, pengetahuan, dan kebijakan
yang melatarbelakanginya. Dalam konteks Danau Limboto, pendekatan ini mengajak
kita melihat danau bukan hanya sebagai objek teknis, tetapi sebagai medan
politik tempat berbagai kepentingan dan narasi bertemu dan berkolaborasi.
Pertama,
pendekatan ini menolak dominasi narasi tunggal berbasis teknokrasi. Ia menuntut
pengakuan terhadap pengetahuan lokal, yang selama ini kerap dianggap inferior
dibandingkan sains institusional. Studi Hasim (2018) menunjukkan bahwa
revitalisasi danau yang hanya fokus pada pengerukan dan infrastruktur fisik
cenderung gagal karena mengabaikan kompleksitas relasi sosial dan konflik aktor
yang menyertainya.
Kedua, ekologi
politik menggeser fokus dari proyek konservasi sektoral ke arah dialog
multipihak yang setara. Danau Limboto adalah ruang politik tempat pemerintah,
masyarakat adat, akademisi, pelaku ekonomi, dan LSM terlibat dalam negosiasi.
Maka, forum deliberatif yang mengikat secara kelembagaan menjadi kebutuhan
mendesak untuk menggantikan konsultasi teknis yang semu.
Ketiga,
pengelolaan danau perlu didorong ke arah co-management yang menggabungkan
otoritas negara dan kapasitas kelembagaan lokal. Studi Hasim dkk. (2012)
mengungkapkan bahwa kelembagaan pengelolaan Danau Limboto masih ââ¬Åkurang
berkelanjutanââ¬Â, dengan indeks hanya sebesar 39,72 dari skala 100. Artinya,
koordinasi lintas sektor lemah, regulasi tidak sinkron, dan partisipasi
masyarakat minim.
Transformasi paradigma menuju ekologi politik bukanlah retorika kosong, melainkan panggilan untuk menjadikan lingkungan hidup sebagai medan keadilan sosial. Danau Limboto harus dipulihkan tidak hanya agar ia kembali jernih, tetapi agar masyarakat yang hidup di sekitarnya dapat hidup lebih adil, bermartabat, dan berdaya. Reorientasi ini menuntut keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu, merangkul narasi-narasi yang terpinggirkan, dan membangun tata kelola sumber daya alam yang demokratis, etis, dan berkelanjutan.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Quia, quos.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Quia, quos.